Entah persisnya tahun berapa bulan apa,

Yang jelas perubahan kehidupan sosial masyarakat begitu drastis. Seiring kemajuan ilmu dan teknologi di jaman modern yang serba praktis, ternyata dapat mengikis rasa ketertarikan pada gotong royong antar tetangga dalam komunitas warga.

Salah satu contoh kecil, ketika ada pembangunan/rehab tempat ibadah (masjid atau mushola), rasa ketertarikan warga terhadap gotong royong mengalami penurun drastis. Berbagai alasan klasik dari mulai sibuk kerja hingga aktifitas lainnya, menyebablan tidak ada waktu untuk sekedar singgah apalagi sampai turut aktif dalam pembangungan tempat ibadah.

2010 ke bawah misalnya, di daerah banyak daerah masih sering dijumpai manakala ada pembangunan atau rehab tempat ibadah maka masyarakat sekitar tidak perlu lagi untuk dikumandangkan bergotongroyong, justru malah mereka sudah seperti robot yang otomatis pasti pada beramai-ramai berambisi untuk ikut aktif membangun tempat ibadah. Tanpa ada bayaran, tanpa ada tarif, tanpa ada perhitungan, kalau toh ada makanan pun dari sukarelawan warga sekitar tanpa harus diminta menyisihkan sebagain yang mereka miliki.

Semuanya seakan sudah satu komandan tanpa komando manusia, seakan semakin yakin bahwa komandonya langsung dari sang maha pencipta melalui hati masing-masing warga. Penuh canda tawa, riang gembira, tanpa ada saling mengungguli, tanpa ada saling membanggakan diri, merasa semuanya adalah memiliki kedudukan yang sama antara warga, hampir sangat tipis perbedaan antara si kaya dengan si miskin bahkan tak nampak si kaya atau si miskin. Semuanya berbaur dalam gotong royong membangun tempat ibadah. Benar-benar bagaian robot serba otomatis, masing-masing warga memiliki peranannya tersendiri, paham tugas masing-masing tak ada saling merasa paling hebat atau paling berjasa.

Fenomena pola pikir kehidupan abad modern yang serab mesin, sudah semakin membudaya bahwa partisipasi dalam membangun tempat ibadah lebih memilih menyumbangkan materi, duit, bahan bangunan ketimbang turut aktif secara langsung berbaur dengan para kuli tuhan. Berdampak semakin jelas jurang pemisah antara si kaya melalui para donatur dengan si miskin. Sebutan bagi Para kuli tuhan pun berangsur hilang dan berubah menjadi para kuli profesional yang memiliki tarif tersendiri sesuai harga umum dalam pasaran dunia proyek bangunan, tidak lagi berfikir amal jariyah.

Namun daripada itu, adalah sangat manusiawi dan wajar bagi para kuli tuhan profesional memiliki standar tarif pekerja, mengingat mereka pun memiliki tanggungan dan kewajiban sebagai pencari nafkah bagi keluarganya. Bagi para dermawan, donatur, sukarelawan pun tidak salah yang hanya berpartisipasi dengan materi, mengingat banyaknya pertimbangan kesibukan kerja terlebih yang diluar kota, terikat dengan aturan ditempat kerja.

Dampak moderenisasi lainya adalah tempat ibadah yang telah bersusah payah dibangun justru tidak sedahsyat saat proses pembangungan. Banyak tempat ibadah yang sepi, kalau pun ramai hanya sebatas musiman, momen ramadhan, momen pernikahan, itu pun yang kebetulan berdekatan dengan tempat ibadah, momen hari besar.
Miris dan ironis, tidak sedikit tempat ibadah megah dan mewah namun sepi dari jamaah, dan minat warga untuk berbondong-bondong memakmurkan tempat ibadah hanya melalui perwakilan agen rupiah alias di kotak amal sodaqoh.

baca juga :